TIDAK tahu kapan akan
bertemu dia lagi karena dia kini telah tiada. Dia bukan dari golongan orang
terkenal, bukan juga dari yang berada, tapi setidaknya dia punya kepedulian
yang besar "menghantarkan" orang lain menuju gerbang surga.
Kami mengenal namanya dengan Pak Jabbar. Dia asli
Flores, Nusa Tenggara Timur. Awalnya, dia adalah seorang Kristen, kemudian
masuk Islam dan berhijrah ke tanah Makassar. Orang-orang NTT juga NTB rupanya
cukup banyak yang tinggal di Makassar. Menurut sejarah, kerajaan Makassar dulu pernah sampai menjangkau ke Nusa
Tenggara Barat.
Saya baru saja mengenal Pak
Jabbar. Tapi pengenalan lebih jauh saya dapatkan setelah menghadiri pemakaman
KH. Ahmad Marzuki Hasan di dalam komplek Pesantren Darul Istiqamah. Kita
ngobrol lebih dari sejam dalam keadaan berdiri dan duduk. Dia cukup betah kalau ngobrol dengan orang lain.
Entah sudah berapa banyak dia gali kuburan. Puluhan
mungkin. Saya tanya, “Pak Jabbar
tidak takut pas gali kuburan?”
Dia jawab, “tidak.”
Tidak ada perasaan takutnya. Dia pernah bercerita, bahwa
di kampungnya dulu sering orang baku
bunuh, jadi dia tidak takut.
Yang menarik dari Pak Jabbar adalah keikhlasannya untuk
menggali kuburan. Saya pernah
tanya berapa penghasilannya dari kerja itu? Dia jawab, kadang-kadang ada kadang
juga tidak ada. Tapi, dia syukuri itu semua. Yang lebih
penting baginya adalah dia telah masuk Islam, tinggal dalam lingkungan
pesantren dan bisa beramal untuk dakwah.
Kata-katanya menarik, lugu sekaligus orisinil. Pertama
kali datang ke Makassar, dia punya hajat terhadap suatu barang, dia bertanya, “Saya mau beli itu yang
saya lihat dia dan dia lihat saya.”
Orang yang ditanya kaget. Apa ya? Oh, ternyata yang dia maksud
adalah CERMIN.
Di lain waktu, karena banyak nyamuk mungkin, dia ingin
membeli suatu barang yang bisa menjadikannya aman dari nyamuk. Dia tanya ke
temannya, "saya mau beli itu yang digantung sini gantung sana, saya di
dalam nyamuk di luar." Yang
ditanya mencari-cari apa maksudnya. Oh, ternyata KELAMBU.
Pak Jabbar orangnya baik.
Setidaknya, karena di suatu pagi dia pernah bantu-bantu saya melempar mangga di
sekitar komplek SD Darul Istiqamah, kebetulan dia yang menjaga SD dan beberapa
pohon mangga di situ.
Waktu saya bercerita
dengannya, setelah pemakaman KH. Marzuki Hasan, dia bilang kalau lidahnya
sakit. Saya memberikan masukan kepadanya untuk berobat
tradisional. Dia bilang, sudah coba. Untuk berobat di dokter, dia bilang dokter
juga tidak mau mengobatinya karena agak parah lidahnya. Seperti ada tumor.
Kurang lebih 8 bulan saya tidak ketemu beliau. Hingga
pada suatu malam datang kabar pada kami bahwa Pak Jabbar telah dipanggil Allah
pada suatu senja. Saya tidak tahu kapan bisa bertemu Pak Jabbar lagi. Saya
ingin banyak belajar darinya, belajar tentang keaslian, jauh dari prasangka,
jauh dari tipu daya, jauh dari konspirasi, dan keluguan manusia.
Semoga amalan kebaikan yang
telah diperbuatnya di dunia, menjaga sekolah, menjaga mangga-mangga,
membersihkan halaman sekolah, membesarkan anak-anaknya, mengislamkan dirinya,
menjadi amalan jariyah untuknya yang pahalanya senantiasa mengalir walau dia
telah ditimbun di tanah Flores sana. Innallillahi
wa inna ilahi rojiun...[]
No comments:
Post a Comment