SEBUAH petuah dari
Cina jaman klasik, berkata, “Shu mu cun
guang.” Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris,
maka menjadi, “A mouse’s vision is an
inch long.” Kira-kira, dalam bahasa kitanya adalah, “Jarak pandang seekor tikus hanya satu inci.”
Suatu waktu, orang yang kesekian ada yang berkata, “gue
mau cerai!!!” Entahlah, apa pasal yang melatarinya, tapi mudahnya kita pahami
sebagai sebuah pandangan bahwa pasangan yang dia dapatkan—menurut seinci
pandangannya yang belum juga cukup satu tahun bersama—tidak cocok dengan
dirinya.
Selesai sampai di situ? Belum.
Beberapa waktu kemudian, perkataan tersebut menjadi seperti debu saja yang
beterbangan. Gerutuan yang sebelumnya begitu berat dalam hatinya menjadi
lunglai dan menjebaknya pada sebuah kondisi dimana dia, mau tak mau, ridha tak
ridha, harus menerima pasangannya itu. Dan, secara pintas kita melihat, “mereka
berbahagia.”
Hidup ini memang sudah susah, olehnya, jangan kita buat
susah! Terkadang, sesuatu
yang rumit, malah bertambah tingkat kerumitannya, adalah karena cara pandang
kita yang mungkin, seperti tikus. Hanya satu inci yang dilihatnya! Cobalah kita
lihat penggaris, satu inci itu semana panjangnya. Pasti pendek sekali.
Orang yang cara pandangnya
“satu inci” itu, bisa saja melanda kita. Ada kalanya pada masalah tertentu,
cara pandang kita ber-kilo ke depan, namun pada persepektif lain, kita menjadi
sangat ketinggalan dengan yang seharusnya.
Beberapa tahun lalu, Geert Wilders buat film fitna. Menurut dia, nabi Muhammad adalah penjahat, istrinya banyak, “haus
darah” dan seterusnya, sebuah fitnah
yang tidak berdasar tentu saja. Publik dunia menjadi
geram atas film dokumenter singkat itu. Gelombang protes terjadi dimana-mana.
Ternyata, salah satu alasan kenapa Geert buat film itu, adalah karena rasa
jengkelnya atas perkembangan Islam yang begitu pesat di negerinya, Belanda.
Melihat aksi lelaki itu, kita
jadi iba padanya. Bagaimana mungkin, seseorang yang mendapatkan jabatan
penting, sebagai anggota parlemen, namun kemudian pandangannya terhadap Islam,
“hanya seinci tikus.” Sementara itu, mereka yang mengkaji Islam secara jernih,
justru mendapatkan hidayah dan kemudian mengikrarkan dirinya sebagai muslim.
Gelombang “seinci tikus” ala Geert itu bahkan tumbuh
juga pada situs-situs tertentu yang tujuannya untuk menggembosi ajaran Islam. Dalam sebuah situs yang dirilis di
wordpress, kita melihat adanya kampanye negatif dari oknum tertentu yang
melihat Islam sebagai agama yang anti pada kemanusiaan, kekerasan, dan
seterusnya. Bahkan, seperti juga yang pernah dimainkan oleh Jylland Posten, ada kartun-kartun baru
yang dibuat tentang Islam dan Nabi Muhammad, dengan tujuan untuk menghancurkan
ajaran Islam.
Saat menulis ini, disamping kiriku adalah sebuah buku
bagus, judulnya “100 A Ranking of the
Most Influential Persons in History.” Buku ini diterjemahkan oleh Penerbit
Hikmah (2009) dengan judul “100 Orang
Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah.” Penulisnya bernama Michael
H. Hart.
Apa yang menarik dari buku Hart ini? Di halaman 1,
sebagai tokoh ranking pertama yang berpengaruh di dunia, adalah “Muhammad Saw
(570-632).” Kenapa Hart yang notebene tidak Islam meletakkan sang
nabi di peringkat pertama? Pada lead tulisannya ia menulis:
“Saya memilih Muhammad Saw sebagai
tokoh teratas dalam daftar paling berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan
sejumlah pembaca dan dipertanyakan oleh yang lain.” Ada lanjutannya yang
menarik—baiknya ditulis dengan huruf besar, “namun, DIALAH ORANG DALAM SEJARAH
YANG SANGAT BERHASIL, BAIK DALAM HAL
KEAGAMAAN MAUPUN SEKULER.”
Pada point agama, bermakna
visi ke-akhiratan. Dari perspektif ini, Rasul menjadi orang yang sukses
akhiratnya, karena memang ia telah dijanjikan bertempat tinggal di surga
bersama umatnya. Dari segi duniawi (atau “sekuler”), beliau juga menjadi lelaki
yang motivatif dan bijaksana kepada kawan dan lawan. Saat Islam tengah berjaya
dengan menaklukkan Mekkah, Rasul tidak lantas membalas dendam kepada
musuh-musuhnya yang dulunya pernah membenci dan merintangi jalan dakwahnya.
Yang ada, ketika ia berada di puncak kesuksesan, yaitu dengan memberikan maaf
kepada mereka.
Dari buku Hart ini saja kita
akan melihat tiap manusia itu punya pandangan yang berbeda. Ada yang jarak
pandangnya hanya “seinci tikus”—segitu-segitu saja. Namun,
ada juga yang memandang dengan perspektif yang lebih jernih, dan jauh ke depan.
Lantas, kira-kira, kita semua
berada pada jarak pandang yang mana? []
No comments:
Post a Comment