DALAM hidup kita
tidak boleh mencari musuh, tapi kalau ada musuh, kita tidak boleh lari. Dalam
konteks dakwah mengajak manusia pada kebaikan dan kebenaran, maka musuh kita
bisa jadi adalah rasa egoisme kita, ataukah egoisme yang bersarang dada orang
lain.
Bagaimana cara kita menghadapi
musuh? Dr. A’idh Al-Qarni dalam buku “Terampil
Berdialog” memberikan tips kepada kita agar menang dalam dialog. Kata
beliau, “lawan dialogmu adalah laksana landak.” Landak itu kan makhluk yang
tajam badannya. “Jika engkau berani memasuki sarangnya, maka ia akan
mengeluarkan jarum yang dimilikinya. Bila sudah begitu, berarti engkau harus
bersiap-siap menghadapi perlawanannya.”
Jadi, kalau kita hadapi
seseorang dengan keras, maka akan keras juga jadinya—kecuali dalam perang!
Namun, kata penulis kitab La Tahzan
itu, bila engkau perlakukan ia dengan lembut dan mengajaknya dengan baik, ia
akan keluar dari sarangnya dengan diam, tenang dan merasa aman.
Memang betul, sesuatu yang
kasar itu rasanya tidak enak di hati. Suatu waktu ada yang bertengkar masalah
sepele. Seseorang mencari plastik yang hilang, kemudian bertanya kepada
kawannya. Kawannya ini merasa, bahwa pertanyaan kok keras sekali dan terkesan
menvonis. Akhirnya, yang ditanya tidak terima, dan terjadilah pertengkaran
mulut. Masalahnya sepele saja, tentang satu plastik yang hilang, kemudian cara
bicara yang terlalu keras dan tidak enak di hati sang pendengarnya.
Kembali kita ke landak tadi.
Jadi, landak sebenarnya sama juga dengan manusia. Kalau dihadapi dengan pelan,
maka landaknya akan keluar dengan pelan-pelan dari sarangnya. Nah, kalau dia
sudah enakan hatinya, pas dia keluar itulah baru, mengutip dari al-Qarni lagi,
“…engkau akan dengan mudah menangkapnya.”
Dalam sebuah debat juga
adakalanya yang dicari oleh orang adalah sisi tingkatan score-nya. Padahal, score yang tinggi belum tentu benar dan
menang. Dalam film kungfu Fearless (pemainnya Jet Li), ada sebuah hukum yang
baik: kemenangan sejati bukan semata saat kita bisa menjatuhkan musuh, tapi
sejauhmana kita bisa mengendalikan diri kita dari egoisme dalam dada.
Dalam film itu diceritakan dengan ambisi Jet Li untuk
menjadi petarung nomor satu di negerinya. Ia kemudian bertarung dengan banyak
jagoan, dan pada kalah semuanya. Akhirnya, karena merasa diri paling hebat, ia pun menantang seorang jagoan
besar. Jagoan besar itu memang akhirnya kalah, tapi yang menyakitkan bagi Jet
Li dalam film itu, adalah saat anak buah dari jagoan besar itu membalaskan
dendam dengan menghabisi nyawa ibu dan anaknya. Ia akhirnya pergi menjauh,
terdampar di sebuah tempat, diselamatkan orang, dan memulai hidup baru dengan
belajar dari kesejatian orang-orang pedesaan. Beberapa tahun kemudian, ia pun
pulang, dan ambisi untuk menjadi nomor satu itu pun sudah dicampakkannya
jauh-jauh. Namun, ketika pengaruh modernisasi barat masuk ke Cina—dan
menghinakan bangsanya—ia pun tampil kembali menjadi petarung.
Dalam pertarungan terakhir,
saat istirahat, minumannya dimasukkan racun oleh manajer dari lawannya. Pada
sesi pertarungan, ia masih kuat, namun lama-kelamaan ia merasakan adanya unsur
tertentu dalam dirinya yang mengganggu darahnya. Lawannya memintanya untuk
mengakhiri pertandingan, tapi ia tidak mau, dan ingin terus bertarung. Kekuatan
jiwa itulah yang membuat lawannya kagum padanya dan menjadikannya nomor satu,
padahal sebentar lagi hayatnya akan tiada oleh karena racun.
Pengendalikan diri memang
sulit. Tapi, bukan berarti kesulitan itu tidak bisa mengejawantah. Hal itu bisa
terjadi, bisa menjelma dalam diri kita, kalau kita buang dulu perasaan bahwa
dirimu itu yang paling hebat, dan orang lain itu dibawahmu. Kalau perasaan
merasa diri hebat masih ada, rasanya akan sulit kita untuk menerima hal baik
dari orang lain, yang ada malah akan muncul iri hati, dengki dan buruk sangka.
Itulah yang bisa kita pelajari
dari akhlak nabi kita Muhammad Saw. Beliau adalah manusia yang akhlaknya mulia.
Kata “mulia” itu luar biasa maknanya. “Baginda yang mulia”, artinya orang yang
dimuliakan oleh yang lainnya. Kalau kita sebut ada logam mulia, wah pasti itu
logam yang hebat. Di Jakarta, misal, ada yang bilang, “aku mau ke Hotel Mulia.”
Maka, imaje-nya adalah hotel besar dengan bangunan yang
bagus. Akhlak mulia itulah, yang diajarkan oleh Rasul kita untuk kita berakhlak
pada diri sendiri, dan kepada orang lain. []
No comments:
Post a Comment