Tuesday, June 23, 2015

Bibi dan Lelaki Tua Itu



BANYAK sekali orang malang di dunia ini. Mereka sendiri tidak tahu kenapa mereka menjadi malang. Mungkin, itu karena tingkat pendidikan mereka yang rendah. Mungkin juga karena mereka tidak punya relasi "orang dalam" dalam pemerintahan sampai-sampai kalau ada sembako gratis, mereka pun tak kebagian. Akhirnya, mereka hanya gigit jari. Nasib oh nasib.
Pada tahun 2000-an, orang-orang yang biasa jalan di Jalan Perintis Kemerdekaan IV pasti pernah mengenal perempuan ini. Rumahnya pindah-pindah. Pernah dia bangun gubug kecil dengan bersandarkan pada tembok Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Tinggal di gubung begitu, masih sedih juga hidupnya. Dia pernah bilang ke saya, "Ardi, radioku dicuri orang." Sudah miskin, ditambah lagi kecurian radio kesayangannya.
Saya mengenal Bibi yang selalu jalan terseok-seok. Umurnya sudah 70-an kayaknya. Tubuhnya kecil, kurus. Tapi, dia masih kuat berjalan. Kadang, dalam perjalanannya, ada saja satu dua mahasiswa baik hati yang memberikan kepadanya selembar uang kertas. Ada yang 5000, bahkan ada yang 10.000.
Lama kelamaan, setelah gubugnya dibongkar karena ada penggalian got, ia pun dipindahkan ke sebuah kamar. Di kamar situ, dia masih juga membayar. Kamarnya itu, sampingan dengan kamar kost saya. Jadi, dia di sebuah sebuah kecil, sedangkan saya tetangganya, yang saya kadang dengar kalau dia bicara di sebelah.
Suatu waktu saya berkunjung ke rumahnya. Di rumahnya, dia persilahkan saya masuk. Kawan, kalau kamu masuk ke rumahnya dan kamu tidak biasa mencium bau tidak sedap, pasti kamu akan buru-buru keluar. Karena, ada bau-bau tertentu yang membuat kita tidak betah. Awalnya saya tidak betah, tapi saya membetahkan diri agar menghargai beliau.
Dia bercerita pada saya tentang masa mudanya. Dia banyak berfilosofi juga. "Hidup, sekarang kita ada, senang-senang, tapi nanti kita sudah tiada." Beberapa kata-katanya menyentuh hati saya. Entah kenapa saya cepat sekali tersentuh dengan cerita dari orang-orang malang seperti Bibi.
Dia juga bercerita tentang penyakit katarak yang dideritanya. Matanya sudah susah melihat. Dua-duanya kena katarak. Sekarang ini biaya operasi katarak satu mata saja sudah 10 juta, kalau dia mata berarti 20 juta. Dia tidak sanggup. Kalaupun ada orang yang mau membayar biaya pengobatannya, dia juga punya masalah dengan kanker payudara.
Dan, serta-merta, sambil terisak, dia perlihatkan kanker tersebut ke saya. Waduh, saya bilang, "Bibi, tidak usah saja, saya sudah mengerti." Saya melihat sedikit, Ya Allah ternyata kanker payudara itu bahaya. Payudara yang dulunya bagus, tiba-tiba menjadi kering, dan agak menjorok ke dalam. Saya agak shock dengan itu, sambil berdo'a agar teman-temanku yang perempuan tidak terkena kanker payudara. Bahaya sekali dan menyiksa.
Saya kerap terkenang dengan perempuan tua itu, yang orang-orang memanggilnya "Bibi." Sejak saya berpindah kost, sampai saya menikah, saya tidak pernah bertemu dia lagi. Saya tidak tahu apakah dia masih tetap di kamarnya yang dulu, ataukah dia pergi ke rumah keluarganya yang lain. Tapi, dalam hati saya berdoa semoga beliau dikuatkan jiwanya, dan selamat di dunia ini serta di akhirat nanti. Amin.
Lain lagi dengan Bibi, ini tentang pemulung. Saat saya sedang makan di warung tegal (tempat makan paling ekonomis untuk mahasiswa kere seperti saya), tiba-tiba seorang lelaki tua, datang. Dari beberapa meter, saya mencium bau yang kurang sedap, apalagi saat makan. Beliau menurunkan pikulannya, yaitu plastik-plastik bekas, mungkin itu yang akan dijualnya nanti. Dan, beberapa saat kemudian beliau masuk ke sebuah warung, duduk dan makan makanan sisa yang ada di meja yang belum sempat diambil oleh penjaga warung. Dia makan dengan lahap, saya melihat dengan hati yang sedih, ternyata masih ada juga orang menderita seperti ini di JAKARTA PUSAT, sebuah tempat yang dihuni oleh Presiden RI di Istana Negara, kantor-kantor kementerian, politisi, orang kaya, atau juga artis-artis, dan orang berada.
Di lain waktu, saya melihatnya memakai sandal jepit berbeda. Mungkin sendal itu dia dapat di tempat sampah, atau juga di jalanan yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Kasihan juga ya hidup mereka yang menderita itu. Sementara, di tempat yang lain, marilah kita jujur melihat, di pusat perbelanjaan, di food court, banyak makanan sisa yang terbuang percuma. Betapa senangnya lelaki tua itu, sekiranya tiap hari dia bisa main-main ke hotel berbintang atau ke food court yang banyak makanan enak-enak itu.
Dari dua peristiwa di atas, saya sms seseorang, "Kita harus banyak bersyukur karena masih banyak orang yang tidak mampu ketimbang kita." Kalau sekarang kita ada masalah, kita jangan stress dulu, karena pasti ada juga orang yang lebih banyak masalahnya dari kita. Sebanyak-banyaknya masalah kita, kita tetap masih bisa makan kan? Sementara di tempat lain, ada orang yang sudah susah hidupnya, makannya juga tidak menentu, dan tidurnya juga tidak jelas dimana.
Kisah Bibi dan lelaki tua itu kerap membuat saya merenung. Saudara, ternyata kita ini harus banyak-banyak bersyukur, jangan sering mengeluhlah, karena masih banyak orang yang lebih menderita dari kita. Dengan bersyukur atas apa yang ada, akan membuat diri kita lebih bahagia. []

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...