BANYAK sekali orang
malang di dunia ini. Mereka sendiri tidak tahu kenapa mereka menjadi malang.
Mungkin, itu karena tingkat pendidikan mereka yang rendah. Mungkin juga karena
mereka tidak punya relasi "orang dalam" dalam pemerintahan
sampai-sampai kalau ada sembako gratis, mereka pun tak kebagian. Akhirnya,
mereka hanya gigit jari. Nasib oh nasib.
Pada tahun 2000-an,
orang-orang yang biasa jalan di Jalan Perintis Kemerdekaan IV pasti pernah
mengenal perempuan ini. Rumahnya pindah-pindah. Pernah dia bangun gubug kecil
dengan bersandarkan pada tembok Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi
Selatan. Tinggal di gubung begitu, masih sedih juga hidupnya. Dia pernah bilang
ke saya, "Ardi, radioku dicuri orang." Sudah miskin, ditambah lagi
kecurian radio kesayangannya.
Saya mengenal Bibi yang selalu
jalan terseok-seok. Umurnya sudah 70-an kayaknya. Tubuhnya kecil, kurus. Tapi,
dia masih kuat berjalan. Kadang, dalam perjalanannya, ada saja satu dua
mahasiswa baik hati yang memberikan kepadanya selembar uang kertas. Ada yang
5000, bahkan ada yang 10.000.
Lama kelamaan, setelah
gubugnya dibongkar karena ada penggalian got, ia pun dipindahkan ke sebuah
kamar. Di kamar situ, dia masih juga membayar. Kamarnya itu, sampingan dengan
kamar kost saya. Jadi, dia di sebuah sebuah kecil, sedangkan saya tetangganya,
yang saya kadang dengar kalau dia bicara di sebelah.
Suatu waktu saya berkunjung ke
rumahnya. Di rumahnya, dia persilahkan saya masuk. Kawan, kalau kamu masuk ke
rumahnya dan kamu tidak biasa mencium bau tidak sedap, pasti kamu akan
buru-buru keluar. Karena, ada bau-bau tertentu yang membuat kita tidak betah. Awalnya saya tidak betah, tapi saya membetahkan diri agar menghargai
beliau.
Dia bercerita pada saya
tentang masa mudanya. Dia banyak berfilosofi juga. "Hidup, sekarang kita
ada, senang-senang, tapi nanti kita sudah tiada." Beberapa kata-katanya
menyentuh hati saya. Entah kenapa saya cepat sekali tersentuh dengan cerita
dari orang-orang malang seperti Bibi.
Dia juga bercerita tentang
penyakit katarak yang dideritanya. Matanya sudah susah melihat. Dua-duanya kena
katarak. Sekarang ini biaya operasi katarak satu mata saja sudah 10 juta, kalau
dia mata berarti 20 juta. Dia tidak sanggup. Kalaupun ada orang yang mau
membayar biaya pengobatannya, dia juga punya masalah dengan kanker payudara.
Dan, serta-merta, sambil
terisak, dia perlihatkan kanker tersebut ke saya. Waduh,
saya bilang, "Bibi, tidak usah saja, saya sudah mengerti." Saya melihat sedikit, Ya Allah ternyata
kanker payudara itu bahaya. Payudara yang dulunya bagus, tiba-tiba menjadi
kering, dan agak menjorok ke dalam. Saya agak shock dengan itu, sambil berdo'a agar teman-temanku
yang perempuan tidak terkena kanker payudara. Bahaya sekali dan menyiksa.
Saya kerap terkenang dengan
perempuan tua itu, yang orang-orang memanggilnya "Bibi." Sejak saya
berpindah kost, sampai saya menikah, saya tidak pernah bertemu dia lagi. Saya
tidak tahu apakah dia masih tetap di kamarnya yang dulu, ataukah dia pergi ke
rumah keluarganya yang lain. Tapi, dalam hati saya berdoa semoga beliau
dikuatkan jiwanya, dan selamat di dunia ini serta di akhirat nanti. Amin.
Lain lagi dengan Bibi, ini
tentang pemulung. Saat saya sedang makan di warung tegal (tempat makan paling
ekonomis untuk mahasiswa kere seperti saya), tiba-tiba seorang lelaki tua,
datang. Dari beberapa meter, saya mencium bau yang kurang sedap, apalagi saat
makan. Beliau menurunkan pikulannya, yaitu plastik-plastik bekas, mungkin itu
yang akan dijualnya nanti. Dan, beberapa saat kemudian beliau masuk ke sebuah warung, duduk dan makan makanan sisa yang ada di meja yang
belum sempat diambil oleh penjaga warung. Dia makan dengan lahap, saya melihat
dengan hati yang sedih, ternyata masih ada juga orang menderita seperti ini di
JAKARTA PUSAT, sebuah tempat yang dihuni oleh Presiden RI di Istana Negara,
kantor-kantor kementerian, politisi, orang kaya, atau juga artis-artis, dan orang berada.
Di lain waktu, saya melihatnya
memakai sandal jepit berbeda. Mungkin sendal itu dia dapat di tempat sampah,
atau juga di jalanan yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Kasihan juga ya hidup
mereka yang menderita itu. Sementara, di tempat yang lain, marilah kita jujur
melihat, di pusat perbelanjaan, di food
court, banyak makanan sisa yang terbuang percuma. Betapa senangnya lelaki
tua itu, sekiranya tiap hari dia bisa main-main ke hotel berbintang atau ke food court yang banyak makanan enak-enak
itu.
Dari dua peristiwa di atas,
saya sms seseorang, "Kita harus banyak bersyukur karena masih banyak orang
yang tidak mampu ketimbang kita." Kalau sekarang kita ada masalah, kita
jangan stress dulu, karena pasti ada juga orang yang lebih banyak masalahnya
dari kita. Sebanyak-banyaknya masalah kita, kita tetap masih bisa makan kan?
Sementara di tempat lain, ada orang yang sudah susah hidupnya, makannya juga tidak
menentu, dan tidurnya juga tidak jelas dimana.
Kisah Bibi dan lelaki tua itu
kerap membuat saya merenung. Saudara, ternyata kita ini harus banyak-banyak
bersyukur, jangan sering mengeluhlah, karena masih banyak orang yang lebih
menderita dari kita. Dengan bersyukur atas apa yang
ada, akan membuat diri kita lebih bahagia. []
No comments:
Post a Comment