SEORANG teman berangkat, menghadiri sebuah pameran internasional. Olehnya
itu, dia titipkan dua lembar uang sebagai makan malamnya anak-anak di asrama.
Maka, pesanlah kami jus alpukat dan nangka serta martabak telor dan terang
bulan. Saat menunggu jus sedang dibuat tak seberapa jauh dari Jl. Kramat Pulo
Dalam Senen Jakarta Pusat, kami bercengkerama; berbicara dari masalah makanan
sampai kenapa akhir-akhir banyak perempuan yang pakai celana ketat, bahkan bajunya juga transparan dan tipis.
“Itu sama saja dengan telanjang kan?” kata salah seorang.
Saat duduk itulah seorang anak kecil mendekati saya. Umurnya mungkin tiga atau empat tahun. Dia
menyodorkan tangannya, itu isyarat bahwa dia ingin meminta uang. Di kening
sebelah kanannya ada sebuah perban menempel. Saya bertanya kepadanya,
"tinggal dimana dek?"
Dia tidak menjawab. Tak jauh
dari situ, kakaknya juga masih berdiri. Kakaknya yang akhirnya menjawab,
"di tanah tinggi." Melihat perban itu, saya tertarik. Saya minta anak
kecil itu mendekat. Saya tanya, ini kenapa. Kakaknya bilang, "jatuh."
Untuk meyakinkan diri, saya menyentuh perban itu, dan benar, di situ ada dua
jahitan masih terpasang, belum menjadi daging. Itu berarti, anak tersebut baru
beberapa hari dilanda kecelakaan.
Nun jauh beberapa tahun silam,
waktu saya kecil. Saya termasuk anak yang suka sekali mengumpulkan
barang-barang bekas. Biasanya saya turun di bawah rumah masyarakat untuk
cari-cari siapa tahu ada barang yang bisa diambil. Saya pernah mendapatkan
kaset, aksesoris hingga uang recehan. Pada suatu waktu, kaki saya kena sebuah
pecahan gelas. Bayangkan, gelas yang pecah, dan di pantat gelas itu masih utuh.
Darah yang keluar bukan main. Maka dibawalah saya ke rumah sakit. Saya
merasakan sakit yang luar biasa, kadang terasa pingsan, tapi itulah resikonya.
Tapi, bersyukur ibuku walau waktu itu jualan kacang goreng dan kelontongan apa
adanya bisa membiayai pengobatan saya. Empat jahitan di kaki kiri, walau sakit
membuat saya sadar bahwa di situ ada kasih sayang.
Di kali lain, saya terkena seng
bekas, sakitnya minta ampun. Kaki kiri saja, di sekitar betis berdarah-darah,
akhirnya dijahit beberapa jahitan. Kadang kalau melihat itu, saya teringat masa
lalu dimana kita harus "berdarah-darah" dulu untuk mencapai yang
namanya "pengetahuan." Walau tidak harus berdarah, setidaknya kita
harus alami juga yang namanya penderitaan untuk merasakan kenikmatan.
Kembali ke anak tadi. Saya
seperti dibawa ke masa lalu. Saya sedih melihat anak
tersebut. Tetangga saya,
masih kecil pernah juga jatuh dari rumahnya ke pantai, pelipisnya robek.
Melihat itu dengan jelas, saya jadi seperti ketakutan sendiri. Saya serasa
hampir pingsan saat melihat atau merasakan hal-hal yang seperti itu. Seperti
juga saat melihat anak kecil yang menyodorkan tangannya itu.
Luka anak, sebenarnya adalah
luka orang dewasa juga. Kalau ada anak-anak di sekeliling kita yang kelaparan,
atau tidak jelas pendidikannya, itu termasuk tanggungjawab kita. Betapa kita
banyak saksikan orang hanya sibuk dengan dirinya sendiri, dan melupakan kondisi
orang lain. Ada yang rela membeli handphone seharga satu juga, lima juta, tujuh
juta, bahkan lima belas juta. Ada juga yang rela membeli sebuah bunga seharga
lima belas, bahkan dua puluh juta, itu dalam sebuah pot. Kalau saja uang yang
sebanyak itu diberikan kepada mereka yang nggak mampu, maka tentu pahala kita
akan lebih meningkat dan masyarakat kita lebih meningkat taraf pendidikannya.
Saya merasa sedih sekali,
sampai tulisan ini dibuat, kenapa ketika anak kecil itu menyodorkan tangannya
saya hanya memberinya segitu. Kalau dipikir, itu lumayan bagi dia, tapi bagi
saya itu masih sangat kurang untuk orang yang pernah "senasib" dengan
saya. Saya merasa sedih sekali kenapa belum totalitas dalam mengeluarkan dana
untuk membantu mereka yang kesusahan. Kita ini sudah untung bisa sekolah yang
tinggi, sampai sarjana, di perguruan tinggi negeri lagi, bahkan bisa lanjut
sampai jenjang master. Kita beruntung punya relasi yang baik. Ini berbeda
dengan mereka yang berada dalam ranah kesusahan, makan susah, apalagi mau pikir
pendidikan.
Saya sedih karena belum bisa
membantu banyak anak yang pernah "senasib" dengan saya itu. Saya
berdoa, semoga Allah ta'ala memudahkan kesembuhan anak tersebut, dan bersekolah
hingga ke jenjang yang tinggi. Amin ya
Allah. []
No comments:
Post a Comment