WAKTU pertama-tama
sekolah di Pesantren Darunnajah, ada sebuah baju yang betapa
nyaman dipakai. Baju itu berwarna kuning muda, kemeja. Di beberapa bagiannya
sudah ada warna-warna lain yang bergabung oleh karena begitu sering dipakai
atau karena sudah akrab berteman dengan matahari. Pada bagian kerah, sudah agak
terganggu sebenarnya karena hampir rusak, tapi masih nyaman juga dipakai. Suatu
waktu di siang, ketika mudhif
(kedatangan tamu) paman saya, di taman bundar depan masjid beliau meminta agar
baju itu tidak usah dikenakan lagi.
Kurang lebih 16 tahun
kemudian—sekarang maksudnya, saya memiliki sebuah baju kemeja yang sering
kupakai. Kemeja ini motifnya bergaris-garis, warnanya hijau. Di beberapa bagian
warnanya telah memudar, kemudian muncul beberapa warna baru--sepertinya tinta whiteboard. Pada sisi kanan, jahitannya
sudah hampir putus satu-satu. Tapi, anehnya masih senang dan rasanya enak
begitu dipakai.
Waktu Indonesia berjuang demi
mendapatkan pengakuan internasional di negara-negara Timur Tengah, ada satu
jaket yang sering dikenakan oleh Haji Agus Salim. Jaket itu sudah lusuh
sebenarnya, kata lainnya adalah, "tidak layak digunakan oleh menteri luar
negeri". Namun, Salim begitu senang menggunakannya. Ternyata, saat ditanya
kenapa beliau betah menggunakan jaket yang agak lusuh itu, iya menjawab bahwa
jaket itu adalah jaket yang digunakan oleh anaknya ketika berjuang sehingga
malakul maut menjemputnya dalam kesyahidan.
Tiap kita pasti ada baju
tertentu yang kita idolakan. Hal itu terjadi karena kita merasa ada kenangan
tertentu yang melekat di situ. Bagi kalangan tertentu, kenangan itu bisa
berbentuk hasil keringat, perjuangan yang begitu keras, ataukah pemberian dari
seseorang yang menarik dan membekas di hati.
Dalam konteks ini, kita
baiknya tidak silau dengan pakaian yang dikenakan orang lain, karena belum
tentu orang lain bahagia dengan pakaian itu. Contoh,
orang yang menggunakan jas dengan dasi, belum tentu mereka menikmati hal itu.
Maka dari itu, jika kita perhatikan style-nya
Pak Jusuf Kalla, menarik juga, beliau jarang sekali pakai dasi dan kemeja yang
digunakannya juga biasa dilipat begitu saja. Dan, ini sudah lama dilakukannya. Mungkin, dengan begitu ada kenikmatan
tertentu yang hanya dirasakan oleh putra dari Bone, Sulawesi Selatan itu.
Baju Kebanggaan, apapun dan bagaimanapun bentuknya,
tetaplah kebanggan. Kita
bangga, dalam artian bahwa kita menghormati perngorbanan kita sampai
mendapatkan baju itu. Ini bukan berarti kita sombong dengan hasil yang telah
kita capai, tapi sekedar menikmati secara duniawi fitrawi hasil keringat yang
telah kita perjuangkan.
Baju kuning yang saya gunakan
di awal-awal tahun 93 adalah baju yang penuh kenangan. Betapa ketika masih di
kampung, kita begitu ceria pergi mengaji menggunakan baju tersebut. Hingga
ketika kita berhijrah untuk menuntut ilmu, baju itu juga yang menemani kita.
Pada moment kuliah S2, saya
juga masih menggunakan baju berwarna hijau itu. Itu karena, dalam baju
"kebangsaan" itu ada kenangan akan perjuangan ketika beberapa hari
dengan kawan di sebuah daerah mengadakan pelatihan yang begitu nikmat. Dari
pelatihan itulah jiwa dan hasratku untuk terus belajar menjadi semacam
tabungan; rasanya seperti sumur yang ketika ditimba airnya selalu mengalir dan mata
air semangat itu terus dan terus memancarkan. []
No comments:
Post a Comment