DARI jalan Ulujami.
Sepulang dari Buka Puasa Bersama dengan teman-teman alumni Pondok Pesantren Darunnajah, saya berkunjung ke sebuah rumah sakit
Islam di Jakarta. Kebetulan, malam ini kawan kita yang sudah jadi dokter ada
jadwal jaga malamnya, maka ikutlah saya. Di dalam
mobil, ada saya, Syarifudin Sardar,
tamatan S2 di India dan Indra Rubiyanto, tamatan Al-Azhar Mesir dan Australia.
Kawan kita yang dokter itu
namanya Iskandar. Memasuki rumah sakit, saya nggak enak badan. Seperti biasa,
saya orangnya nggak tahanan kalo lama-lama di rumah sakit. Pernah, beberapa
tahun silam, saya terjatuh, pingsan setelah melihat kawan saya kepalanya
berdarah. Saya nggak kuat melihat penderitaan orang seperti itu. Olehnya itu
kalau lama-lama lihat orang sakit yang menderita, saya bisa-bisa pingsan pula. Di kamar jaga, kami cuma bertiga, Indra telah kembali duluan ke
rumahnya di Kemayoran. Di
kamar jaga kita cerita-cerita tentang rumah sakit, dokter dan juga
pasien-pasien yang unik.
Ada seorang pasien yang minum
minyak wangi. Dia bukan orang kita, dia berkebangsaan India, nggak bisa bahasa
Indonesia, bisanya hanya bahasa Inggris. Kata kawan saya yang dokter itu, kalau
ada kasus seperti itu, selain diperiksa secara medis, biasa juga diperiksa
secara psikis. Siapa tahu dia minum minyak wangi itu karena stres, banyak
benturan atau lingkungan yang nggak kondusif.
Setelah ngobrol dengan pasien
itu, kata teman saya, pasien itu emang ingin Bunuh Diri. Dia tertekan. Umurnya
memang sudah cukup, di atas 60 tahun. Seorang keluarganya—lelaki gagah, seperti
artis India—datang ke ruang jaga, dia bilang bahwa si pasien itu nggak ada
kelainan jiwa, kejadian itu murni nggak sengaja. Kata kawan saya, si lelaki
tadi bohong. Pasiennya tadi mengaku sendiri kalau dia tertekan.
Selain itu, ada juga seorang pemuda lulusan master dari luar
negeri. Dia ini punya pendidikan yang keren, juga dapat posisi yang mantap.
Karena dia cinta sama seorang perempuan, akhirnya berkorban abis-abisan buat si
dia. Tapi yang nggak disangkanya adalah, si perempuan malah menikah dengan
laki-laki lain.
Si pemuda jadi stress, dia banyak murung di rumah,
karena lama nggak masuk kantor, akhirnya dia dikeluarkan dari kantornya. Orang tuanya marah-marah melihat anaknya
begitu. "Kamu ini sudah disekolahkan tinggi-tinggi, ke luar negeri sampe
dapat master, sekarang malah kayak begini. Murung aja di rumah."
Tiap hari ocehan demi ocehan
didapat si pemuda. Akhirnya stress, dan dia ingin mengakhiri hidupnya. Tapi,
memang karena belum ajalnya, akhirnya si lelaki nggak mati juga.
Di kisah ini kita bisa dapat
hikmah bahwa sebagai orang tua kita nggak boleh menjatuhkan mental anak-anak
kita. Kita memang sudah berkorban untuk mereka, tapi kita tetap harus menjaga
perasaan mereka, karena mereka juga manusia yang punya rasa. Di sisi laki-laki
tadi, seharusnya dia lebih sabar, nggak usah sampe stress kayak gitu karena
ditinggal perempuan. Santai aja, still
enjoy aja, pasti ada yang lebih baik dari dia.
Solusinya...Solusi dari stress
adalah membiasakan diri untuk tidak stress. Kalau bisa ketika ada masalah
jangan dipendam sedemikian rupa. Biasa aja. Dengan begitu, hati kita akan lebih
santai, nggak terbebani.
Mendekat kepada Allah itu pasti.
Artinya, dengan banyak-banyak zikir, hati kita akan
tenang. Nggak usahlah pake stress segala, santai ajalah. Hadapi
semua masalah dengan tenang. Yang baik bagi kamu belum tentu itu betul baik.
Dan yang nggak baik menurut kamu belum tentu juga nggak baik, bisa aja itulah
yang menyelamatkanmu. Allah bilang kepada kita semua, "Bisa saja apa yang
kamu benci itu baik bagi kamu, dan bisa saja apa yang kamu cintai itu buruk
bagi kamu." Semua ada
hikmahnya... []
No comments:
Post a Comment