Tuesday, June 23, 2015

Stress



DARI jalan Ulujami. Sepulang dari Buka Puasa Bersama dengan teman-teman alumni Pondok Pesantren Darunnajah, saya berkunjung ke sebuah rumah sakit Islam di Jakarta. Kebetulan, malam ini kawan kita yang sudah jadi dokter ada jadwal jaga malamnya, maka ikutlah saya. Di dalam mobil, ada saya, Syarifudin Sardar, tamatan S2 di India dan Indra Rubiyanto, tamatan Al-Azhar Mesir dan Australia.
Kawan kita yang dokter itu namanya Iskandar. Memasuki rumah sakit, saya nggak enak badan. Seperti biasa, saya orangnya nggak tahanan kalo lama-lama di rumah sakit. Pernah, beberapa tahun silam, saya terjatuh, pingsan setelah melihat kawan saya kepalanya berdarah. Saya nggak kuat melihat penderitaan orang seperti itu. Olehnya itu kalau lama-lama lihat orang sakit yang menderita, saya bisa-bisa pingsan pula. Di kamar jaga, kami cuma bertiga, Indra telah kembali duluan ke rumahnya di Kemayoran. Di kamar jaga kita cerita-cerita tentang rumah sakit, dokter dan juga pasien-pasien yang unik.
Ada seorang pasien yang minum minyak wangi. Dia bukan orang kita, dia berkebangsaan India, nggak bisa bahasa Indonesia, bisanya hanya bahasa Inggris. Kata kawan saya yang dokter itu, kalau ada kasus seperti itu, selain diperiksa secara medis, biasa juga diperiksa secara psikis. Siapa tahu dia minum minyak wangi itu karena stres, banyak benturan atau lingkungan yang nggak kondusif.
Setelah ngobrol dengan pasien itu, kata teman saya, pasien itu emang ingin Bunuh Diri. Dia tertekan. Umurnya memang sudah cukup, di atas 60 tahun. Seorang keluarganya—lelaki gagah, seperti artis India—datang ke ruang jaga, dia bilang bahwa si pasien itu nggak ada kelainan jiwa, kejadian itu murni nggak sengaja. Kata kawan saya, si lelaki tadi bohong. Pasiennya tadi mengaku sendiri kalau dia tertekan.
Selain itu, ada juga seorang pemuda lulusan master dari luar negeri. Dia ini punya pendidikan yang keren, juga dapat posisi yang mantap. Karena dia cinta sama seorang perempuan, akhirnya berkorban abis-abisan buat si dia. Tapi yang nggak disangkanya adalah, si perempuan malah menikah dengan laki-laki lain.
Si pemuda jadi stress, dia banyak murung di rumah, karena lama nggak masuk kantor, akhirnya dia dikeluarkan dari kantornya. Orang tuanya marah-marah melihat anaknya begitu. "Kamu ini sudah disekolahkan tinggi-tinggi, ke luar negeri sampe dapat master, sekarang malah kayak begini. Murung aja di rumah."
Tiap hari ocehan demi ocehan didapat si pemuda. Akhirnya stress, dan dia ingin mengakhiri hidupnya. Tapi, memang karena belum ajalnya, akhirnya si lelaki nggak mati juga.
Di kisah ini kita bisa dapat hikmah bahwa sebagai orang tua kita nggak boleh menjatuhkan mental anak-anak kita. Kita memang sudah berkorban untuk mereka, tapi kita tetap harus menjaga perasaan mereka, karena mereka juga manusia yang punya rasa. Di sisi laki-laki tadi, seharusnya dia lebih sabar, nggak usah sampe stress kayak gitu karena ditinggal perempuan. Santai aja, still enjoy aja, pasti ada yang lebih baik dari dia.
Solusinya...Solusi dari stress adalah membiasakan diri untuk tidak stress. Kalau bisa ketika ada masalah jangan dipendam sedemikian rupa. Biasa aja. Dengan begitu, hati kita akan lebih santai, nggak terbebani.
Mendekat kepada Allah itu pasti. Artinya, dengan banyak-banyak zikir, hati kita akan tenang. Nggak usahlah pake stress segala, santai ajalah. Hadapi semua masalah dengan tenang. Yang baik bagi kamu belum tentu itu betul baik. Dan yang nggak baik menurut kamu belum tentu juga nggak baik, bisa aja itulah yang menyelamatkanmu. Allah bilang kepada kita semua, "Bisa saja apa yang kamu benci itu baik bagi kamu, dan bisa saja apa yang kamu cintai itu buruk bagi kamu." Semua ada hikmahnya... []

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...