ORANG-ORANG kampung
yang datang ke kota kalau imannya tidak kuat, akan terjerumuslah dia. “Ini Jakarta, bung!” Artinya, “Jakarta ini keras. Kalau
malas, maka bersiap-siaplah tergusur oleh tirani kota besar!”
Orang-orang kampung yang masih
lugu-lugu dari kampungnya datang ke kota. Pertama kali mereka datang, pakaian
mereka masih rapih. Ada yang pakai kemeja, juga baju berbahan kain. Di kota,
dia bertemu dengan banyak kalangan. Ada yang senasib dengannya, juga ada yang
sudah jauh lebih "modern" dengan style
ala orang kota.
“Jakarta ini kejam, bung!”
Komentar itu muncul dari lidah
seseorang. Betapa tidak, di kawasan Kramat Senen Jakarta Pusat, ada dua lelaki
sedang jalan, dan kemudian mendekatlah sebuah motor, dan sontak yang dibonceng
menyiramkan AIR AKI pada kedua lelaki itu. Tau nggak? Badan si lelaki itu
langsung berasap. Dia kepanasan sekali, dan parahnya air panas itu juga
menyiram matanya. Duh.
Tidak seberapa waktu, di
tempat lain di Tangerang, seorang yang dibonceng juga menembakkan tepat di
kepala Nasruddin. Tak lama kemudian, karena timah panas itu masuk di kepala,
maka berakhirlah lelaki itu. Dari berita yang kita dengar, para pelaku ada yang
berasal dari kalangan bawah. Di antara mereka—tanpa bermaksud merendahkan
profesinya--ada yang pernah betugas sebagai Satpam. Dari kampung mereka datang
ke kota, dan di kota karena diiming-imingi oleh duit yang banyak, akhirnya
melakukanlah dia tindakan kriminal.
"Siapa
suruh datang Jakarta
Siapa
suruh datang Jakarta
sendiri
suka sendiri rasa
edoe,
sayangg..."
Petikan lagu ini pasti pernah
kita dengar. Betapa orang-orang malang yang berasal dari daerah kerap menjadi
bertambah kemalangannya ketika tidak mendapatkan tempat yang kondusif. Bergaul
dengan pencopet, bisa-bisa dia jadi tukang copet. Dengan guru ngaji, bisa-bisa
ketularan pinter mengaji (dan ini lebih mulia, apalagi jika diajarkan pada
orang lain). Pada point ini, hukum alamnya adalah "mau tahu siapa dia,
lihat temannya."
Para mahasiswa yang merantau
ke Jakarta, mereka belajar. Ada yang sembari belajar
juga bekerja. Ada juga yang tetap menganggur dalam statusnya sebagai mahasiswa.
Para pencari kerja yang datang ke Jakarta, juga ada yang berhasil menaiki
strata sosial yang mapan, juga ada yang tetap terbelit dalam kungkungan status
seperti pertama kali mereka datang dalam jangka waktu yang tidak bisa dibilang
lama.
***
Masihkah kita bisa bertahan di
kota? Mahasiswa terbaik di negeri ini, banyak dikirim ke luar. Mereka belajar
dari negeri yang jauh di sana. Waktu masih mahasiswa disini, pemikiran dan
akhlaknya masih sama seperti kita, namun ketika sudah mendapatkan fasilitas dan
berstatus sebagai orang "modern", secara perlahan apa yang dulu
pernah mereka perjuangkan menjadi pudar. Ada yang tetap konsisten, namun ada
juga yang larut dalam gemerlapnya kota.
Para santri yang dulu pernah
nyantri beberapa tahun. Ketika tamat dari pesantren, ada saja yang larut dalam
gemerlapnya kota. Mereka pernah belajar agama. Bahasa Arab mereka tahu.
Pelajaran agama dari akidah, akhlak, hingga syair-syair Arab mereka hafal.
Tapi, ada saja di antaranya yang entah kenapa tidak kita temukan sisa bahwa
mereka pernah mempelajari hal tersebut. Ada orang yang pernah belajar agama,
lamaa sekali, tapi anehnya sisa-sisa pelajaran mereka menjadi tidak terlihat
sama sekali.
Kota memang menggiurkan. Di
awal tahun 1990-an pakaian perempuan begitu longgar. Namun, ketika mode
berkembang begitu pesat, para perempuan menjadi tidak malu untuk menggunakan
pakaian yang ketat, bahkan memperlihatkan auratnya yang juga punya kesan
"berpakaian tapi telanjang". Dan, ini dilakukan oleh orang Islam
sendiri, bahkan yang pernah belajar di lembaga pendidikan agama.
"Kejahatan yang dilakukan
oleh orang baik-baik adalah keburukan!" demikian salah satu kutipan
berkata. Kalau orang yang tidak tahu agama melakukan segala dosa, itu wajar
karena mereka memang tidak tahu agama. Tapi, kalau seorang yang beragama,
pernah belajar agama melakukan kejahatan, itu adalah tindakan yang sangat
buruk.
Kota mengandung dua sisi
sebenarnya: baik dan buruk. Kebaikannya adalah
adanya progress yang begitu signifikan bagi kemajuan kita. Sedangkan buruknya adalah trend budaya barat yang permissif
menjangkiti begitu cepat. Sebagai
muslim, kita tidak bisa mempersalahkan kota. Namun, usaha kita untuk menjadikan
kota kita lebih damai dengan mendapatkan berkah sangatlah perlu kita lakukan.
Orang-orang yang sudah pernah
ke kota, apakah mereka masih seperti dulu ketika jiwanya masih begitu
"desa"? Apakah akhlak mereka, cara bertutur kata, kerendahan hati,
istiqamah mereka pada ajaran Islam, apakah masih ada jiwa-jiwa mulia itu?
O, masihkah itu kau? []
No comments:
Post a Comment