ADA satu pertanyaan mendasar: kenapa para pakar Islamic Studies (Kajian
Islam) yang menguasai banyak ajaran Islam tidak juga masuk Islam? Atau, dalam
kata lain, kenapa mereka-mereka yang ilmunya banyak, mereka tahu Bahasa Arab,
ilmu keislaman, paling shahih membicarakan Islam ketimbang orang Islam sendiri,
mengakui kebenaran Islam tapi tidak masuk Islam?
Pertanyaan ini terlontar dari Dr.
Adnin Armas, salah seorang cendekiawan muda lulusan salah satu kampus di negeri
jiran Malaysia. Berarti, ada yang salah di situ. Apakah salah dalam artian
niatnya salah, ataukah perkara hidayah yang nggak juga datang pada dia. Atau,
juga karena gengsi untuk masuk ke dalam ajaran Islam.
Menurut Adnin Armas yang aktif
di lembaga pemikiran Islam Insists itu, ada beberapa hal yang perlu kita
perhatikan dalam menuntut ilmu agar pemikiran kita tetap selamat. Di bawah ini
penjabarkan pointer intinya dalam bahasa saya sendiri.
SATU: Guru. Kita perlu mencari
guru yang benar. Guru yang benar akan membawa kita pada kebenaran. Dalam
tradisi Islam, guru menjadi salah satu unsur penting dalam proses mencari ilmu.
Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana keseharian sang guru. Itulah mengapa
dalam ilmu hadits juga perlu diteliti perihal siapa perawinya. Karena perawi
yang suka bohong atau pernah berbohong punya kemungkinan untuk berbohong juga
dalam hadits.
Guru yang benar ini perlu kita
cari. Tapi, bagaimana kalau kita belajar di tempat yang gurunya itu boleh
disebut "nggak bener"—apakah secara akidah atau kesehariannya? Untuk
kasus ini, kita perlu lebih selektif dan kritis dalam mencerna apa yang
dikatakan oleh sang guru. Memang hikmah itu bisa ada dimana saja, tapi tetap
kita nggak boleh asal ambil saja, kita harus kritis, ambil yang baik dan
tinggalkan yang buruk.
DUA: Buku. Bacaan yang baik
akan membawa kita pada kebaikan juga. Untuk belajar Islam kita perlu biasakan
membaca buku yang bermutu, bukan yang "berkutu". Buku yang bermutu
membawa kita pada mutu juga tentunya. Tapi buku yang "berkutu"
membawa kita pada kesesatan dalam berpikir. Kalau sudah sesat dalam berpikir,
maka kita akan menganggap apa yang kita lakukan itu benar, padahal itu salah.
Kita akan menganggap minum khamr itu boleh, padahal dalam Islam telah jelas keharamannya. Kita akan menganggap lesbian dan gay itu
boleh, padahal itu nggak benar dalam Islam. Kita akan merasa benar, padahal
rujukan kita ada penyimpangannya.
Memilih buku yang bermutu juga nggak bisa dipisahkan
dari penulisnya. Kalau baca
bukunya Hamka, setidaknya akidah dan keseharian kita lebih aman. Walau Hamka
juga punya kekurangan dan kesalahan, tapi kita lebih aman karena faktor Hamka
banyak yang menerimanya. Ia dianggap netral dan disenangi banyak kalangan.
TIGA: Lingkungan. Kita perlu
lingkungan yang kondusif untuk belajar. Artinya ilmu yang kita punya kan
sebenarnya bukan hanya untuk diri kita, bukan hanya untuk jadi pengetahuan
belaka. Kita ingin ilmu itu bisa kita aplikasikan dalam realitas keseharian
kita. Maka itu, teman, atau lingkungan sepermainan turut menentukan juga.
Kita perlu mencari lingkungan yang baik agar ilmu kita
juga baik. Karena kalau lingkungan kita nggak baik sedangkan kepribadian kita
masih suka goyah, bisa-bisa juga tambah jauh, dan jauh dari pengamalan ajaran
Islam.
Tiga hal di atas adalah panduan singkat saja bagaimana
agar dalam menuntut ilmu kita menjadi selamat dan dijauhkan dari sesat pikir dan gerak, baik yang disengaja maupun
tidak disengaja. []
No comments:
Post a Comment